Selamat Datang Di Blog Sambas Sunnah, Sebuah Blog Karya Biak Kitte Juak. Semoga Bermanfaat. Ayo...Semangat Menuntut Ilmu Agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Barang siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu agama, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699).
 
Senin, 23 Mei 2016

Bahaya Lisan

0 komentar
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fiih, kama yuhibbu Robbuna wa yardhoo. Asy-hadu an lailaha illallah wa asy-hadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.

Saudaraku -yang semoga senantiasa dirahmati dan diberkahi oleh Allah Tabaroka Wa Ta'ala-

Betapa sering lisan ini tergelincir dengan mengucapkan kata-kata kotor, mengumpat, mencela orang lain, membicarakan orang lain padahal dia tidak senang untuk diceritakan atau bahkan seringkali lisan ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kesyirikan dan kekufuran. Untuk itu, menjadi keharusan bagi kita sebagai seorang muslim untuk mengoreksi diri dalam setiap tingkah lakunya, apatah lagi dalam perkara lisannya yang terkadang begitu enteng mengucapkan sesuatu yang dimurkai Allah.
Ingatlah saudaraku, setiap yang kita ucapkan baik perkataan yang baik, perkataan yang buruk maupun yang sia-sia akan selalu dicatat oleh malaikat yang setiap saat mengawasi kita. Seharusnya kita selalu merenungkan ayat berikut agar tidak mudah dan tidak asal keluar dalam mengucapkan kata-kata dari lisan ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 18). Ucapan dalam ayat ini bersifat umum. Oleh karena itu, bukan perkataan yang baik dan buruk saja yang akan dicatat oleh malaikat, tetapi termasuk juga kata-kata yang tidak bermanfaat atau sia-sia. (Lihat Tafsir Syaikh Ibnu Utsaimin pada Surat Qaaf).

Kita dapat melihat contoh ulama yang selalu menjaga lisannya bahkan sampai dalam keadaan sakit. Imam Ahmad pernah didatangi oleh seseorang dan beliau dalam keadaan sakit. Kemudian beliau merintih karena sakit yang dideritanya. Lalu ada yang berkata kepadanya (yaitu Thowus, seorang tabi’in yang terkenal), “Sesungguhnya rintihan sakit juga dicatat (oleh malaikat).” Setelah mendengar nasehat itu, Imam Ahmad langsung diam, tidak merintih. Beliau takut jika merintih sakit, rintihannya tersebut akan dicatat oleh malaikat. (Silsilah Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 11/5).
Lihatlah saudaraku, bentuk rintihan seperti ini saja dicatat oleh malaikat, apalagi ketergelinciran lisan yang lebih dari sekedar merintih.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Tidak ada yang lebih pantas dipenjara dalam waktu yang lama melainkan lisanku ini.” (Mukhtashor Minhajil Qoshidin, hal. 165, Maktabah Darul Bayan).

Bentuk Ketergilincaran Lisan
[Pertama] Mencela Makhluk yang Tidak Dapat Berbuat Apa-apa
Misalnya dengan mengatakan, ‘Bencana ini bisa terjadi karena bulan ini adalah bulan Suro’ atau mengatakan ‘Sialan! Gara-gara angin ribut ini, kita gagal panen’ atau dengan mengatakan pula, ‘Aduh!! hujan lagi, hujan lagi, gak laku jualan saya’.
Lidah ini begitu mudah mengucapkan perkataan seperti ini. Padahal makhluk yang kita cela tersebut tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah. Mencaci waktu, angin, dan hujan, pada dasarnya telah mencaci, mengganggu dan menyakiti yang telah menciptakan dan mengatur mereka yaitu Allah Ta’ala
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa. Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih).

[Kedua] Seringnya Berdusta
Dusta ini juga sering dilakukan oleh kita saat ini. Dalam mu’amalah saja seringkali seperti itu, begitu mudahnya kita mengucapkan kata-kata dusta. Hanya ingin mendapat untung yang besar, seorang tukang bangunan rela berdusta. Harga semennya sebenarnya 30 ribu, namun tukang tersebut mengatakan pada juragannya bahwa harganya 40 ribu.
Begitu juga dalam mendidik anak, seringkali juga muncul perkataan dusta. Ketika seorang anak merengek, menangis terus-terusan. Untuk mendiamkannya, sang Ibu spontan mengatakan, “Iya, iya, nanti Mama akan belikan coklat di warung. Sekarang jangan nangis lagi.” Setelah anaknya diam, ibunya malah tidak memberikan dia apa-apa. Kelakuan ibu ini juga secara tidak langsung telah mengajarkan anaknya untuk berdusta. Jadi jangan salahkan anaknya, jika dewasa nanti, anaknya malah yang sering membohongi orang tuanya.
Saudaraku, bentuk pertama dan kedua ini sama-sama berkata dusta. Ingatlah bahwa perbuatan semacam ini termasuk ciri-ciri kemunafikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga : jika berkata, dia dusta; jika berjanji, dia menyelisinya; dan jika diberi amanat, dia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim) 
Inilah di antara dua bentuk ketergelinciran lisan dan masih banyak sekali bentuk yang lainnya yang tak dapat disebutkan satu per satu.

Berpikirlah Sebelum Berucap
Baiknya, hendaklah seseorang berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena ucapan ini kita akan dilempar ke neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim).
Ulama besar Syafi’iyyah, Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, ”Ini merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.’ (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, selayaknya setiap orang yang akan berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, maka hendaknya merenungkan dalam dirinya sebelum melontarkan ucapan. Jika memang ada manfaatnya maka dia berbicara, akan tetapi jika tidak bermanfaat, hendaklah dia menahan lisannya.” 

Inilah kita, manusia. Seringkali kita menganggap perkataannya seperti itu tidak apa-apa, namun di sisi Allah itu adalah suatu perkara yang dimurkai. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An Nur [24] : 15)

Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar.
Dengan Lisan, Seseorang Ditinggikan Derajatnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu.” (HR. Bukhari).
Ketinggian derajat di sini bisa diperoleh jika lisan selalu diarahkan pada perkara kebaikan, di antaranya dengan berdo’a, membaca Al Qur’an, berdakwah di jalan Allah, mengajarkan orang lain di majelis ilmu dan lain sebagainya. Atau dengan kata lain, ketinggian derajat tersebut bisa diperoleh dengan mengarahkan lisan pada perkara-perkara yang Allah ridhoi. (Lihat Nashihatu Linnisa’, hal. 20).
Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menjaga lisan ini dan mengarahkannya kepada hal-hal yang dirihoi oleh Allah. Amin Ya Mujibad Da’awat

Selesai di Studio Radio Dakwah Indah Pratama,
Kota Singkawang.
16 Sya'ban 1437H / 23 Mei 2016M

Abu Aufa.

Leave a Reply

 
Sambas Sunnah © 2016 | Created By Abu Aufa