Berikut ini adalah
wasiat Islami yang berharga dalam berbagai aspek, seperti ibadah, muamalah,
akhlak, adab dan yang lainnya dari sendi-sendi kehidupan. Kami persembahkan
wasiat ini sebagai peringatan kepada para pemuda muslim yang senantiasa
bersemangat mencari apa yang bermanfaat baginya.
Dan sesungguhnya peringatan
itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Kami mohon kepada Allohu tabaroka
wa ta’ala agar menjadikan hal ini bermanfaat bagi orang yang membacanya ataupun
mendengarkannya serta memberikan pahala yang berlimpah bagi penyusunnya,
penulisnya, yang menyebarkannya maupun yang mengamalkannya. Cukuplah bagi kita Alloh
ta’ala sebaik-baik tempat bergantung. Risalah ini kami susun dari buletin
berjudul 74 Washiyyah Li Asy-Syabaab, terbitan Daarul Qoshim, Riyadh – Kerajaan
Arab Saudi.
Diantara
wasiat untuk para pemuda muslim adalah:
Wasiat pertama: “Ikhlaskan
niat kepada Alloh ta’ala dan hati-hatilah dari riya’, baik dalam perkataan
maupun perbuatan”.
Apa Itu Ikhlas?
Saudaraku, niat yang ikhlas adalah apabila tujuan seorang hamba dari
seluruh ucapan yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya yang nampak
ataupun yang tersembunyi semata-mata untuk mencari wajah Allah تعالى
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Qs.Al-Bayyinah: 5).
وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ
مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَى إلَّا ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى
“Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang
harus dibalasnya, Tetapi (Dia memberikan itu semata-mata) Karena mencari
keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi.” (Qs. Al-Lail: 19 – 20).
نَّمَا نُطْعِمُكُمْ
لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُورًا
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan
keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula
(ucapan) terima kasih.” (Qs. Al-Insaan: 9).
مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ
الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا
نُؤتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah
keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia
kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya
suatu bahagianpun di akhirat.” (Qs.Asy-Syuuraa: 20).
Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ
إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi
Shallallahu ‘alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya
Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan
tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”.
Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda
redaksi dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan
tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas
adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat,
ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.
Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata: “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata
karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan
tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.
Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda”. Yang lain
berkata: “Seorang yang ikhlas ialah,
seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki
hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai
memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.
Abu ‘Utsman berkata: “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat
kepada Khaliq (Allah)”.
Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata: “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang
hamba antara lahir dan batin”.
Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Meninggalkan amal karena manusia adalah
riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila
Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.
[Al
Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam An Nawawi (I/16-17), Cet. Darul Fikr; Madarijus
Salikin (II/95-96), Cet. Darul Hadits Kairo; Al Ikhlas, oleh Dr. Sulaiman Al
Asyqar, hlm. 16-17, Cet. III, Darul Nafa-is, Tahun 1415 H; Al Ikhlas Wasy
Syirkul Asghar, oleh Abdul Lathif, Cet. I, Darul Wathan, Th. 1412 H].
Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu
amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang
melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak
ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk
diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena
mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika
perang, karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat
di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang
terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya
bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang
mengotori keikhlasan.
Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat
karena Allah semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari
amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya,
maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang
yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan
popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut,
sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa,
menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat,
arti “ikhlas karena Allah ialah, apabila
seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada Allah dan
mencapai tempat kemuliaanNya”.
Bahaya Riya’
Syarat paling utama suatu amalan diterima di sisi Allah adalah ikhlas.
Tanpanya, amalan seseorang akan sia-sia belaka. Syaitan tidak henti-hentinya
memalingkan manusia, menjauhkan mereka dari keikhlasan. Salah satunya adala
melalui pintu riya’ yang banyak tidak disadari setiap hamba.
Yang dimaksud riya’ adalah melakukan suatu amalan agar orang lain bisa
melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk ke dalam riya’ yaitu sum’ah, yakni
melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan, sehinga
pujian dan ketenaran pun datang tenar. Riya’ dan semua derivatnya merupakan
perbuatan dosa dan merupakan sifat orang-orang munafik.
Hukum Riya’
Riya’ ada dua jenis. Jenis yang pertama hukumnya syirik akbar. Hal ini
terjadi jika sesorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat manusia, dan tidak
sedikit pun mengharap wajah Allah. Dia bermaksud bisa bebas hidup bersama kaum
muslimin, menjaga darah dan hartanya. Inilah riya’ yang dimiliki oleh
orang-orang munafik. Allah berfirman tentang keadaan mereka (yang artinya), “Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka .
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’:142).
Adapun yang kedua adalah riya’ yang terkadang menimpa orang yang beriman.
Sikap riya’ ini terjadang muncul dalam sebagian amal. Seseorang beramal karena
Allah dan juga diniatkan untuk selain Allah. Riya’ jenis seperti ini merupakan
perbuatan syirik asghar.[1]
Jadi, hukum asal riya’ adalah syirik asghar (syirik kecil). Namun, riya’
bisa berubah hukumnya menjadi syirik akbar (syirik besar) dalam tiga keadaan
berikut :
1. Jika seseorang riya’ kepada manusia dalam pokok keimanan. Misalnya
seseorang yang menampakkan dirinya di hadapan manusia bahwa dia seorang mukmin
demi menjaga harta dan darahnya.
2. Jika riya’ dan sum’ah mendominasi
dalam seluruh jenis amalan seseorang.
3. Jika seseorang dalam amalannya lebih dominan menginginkan tujuan dunia,
dan tidak mengharapkan wajah Allah.[2]
Ibadah yang
Tercampur Riya’
Bagaimanakah status suatu amalan ibadah yang tercampu riya’? Hukum masalah
ini dapat dirinci pada beberapa keadaan. Jika seseorang beribadah dengan maksud
pamer di hadapan manusia, maka ibadah tersebut batal dan tidak sah. Adapun jika
riya’ atau sum’ah muncul di tengah-tengah ibadah maka ada dua keadaan. Jika
amalan ibadah tersebut berhubungan antara awal dan akhirnya, misalnya ibadah sholat,
maka riya’ akan membatalkan ibadah tersebut jika tidak berusaha dihilangkan dan
tetap ada dalam ibadah tersebut. Jenis yang kedua adalah amalan yang tidak
berhubungan antara bagian awal dan akhir, shodaqoh misalnya. Apabila seseorang
bershodaqoh seratus ribu, lima puluh ribu dari yang dia shodaqohkan tercampuri
riya’, maka shodaqoh yang tercampuri riya’ tersebut batal, sedangkan yang lain
tidak.[3]
Jika
Demikian Keadaan Para Sahabat, Bagaimana dengan Kita?
Penyakit riya’ dapat menjangkiti siapa saja, bahkan orang alim sekali pun.
Termasuk juga para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum. Para sahabat
adalah generasi terbaik umat ini. Keteguhan iman mereka sudah teruji,
pengorbanan mereka terhadap Islam sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun
demikian, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam masih
mengkhawatirkan riya’menimpa mereka. Beliau bersabda, Sesuatu yang aku
khawatrikan menimpa kalian adalah perbuatan syirik asghar. Ketika beliau
ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: ‘(contohnya) adalah riya’ ”[4]
Dalam hadist di atas terdapat pelajaran tentang takut kapada syirik. Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam khawatir kesyirikan menimpa sahabat muhajirin dan
anshor, sementara mereka adalah sebaik-baik umat. Maka bagaimana terhadap umat
selain mereka? Jika yang beliau khawatirkan menimpa mereka adalah syirik asghar
yang tidak mengeluarkan dari Islam, bagaimana lagi dengan syirik akbar? Wal
‘iyadzu billah !! [5]
Lebih Bahaya dari Fitnah Dajjal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Maukah
kamu kuberitahu tentang sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap
kalian daripada (fitnah) Al masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu
saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika
sesorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui
ada orang lain yang memperhatikannya “[6]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa
riya’ termasuk syirik khafi yang samar dan tersembunyi. Hal ini karena riya’
terkait dengan niat dan termasuk amalan hati, yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala.
Tidak ada seseorang pun yang mengetahui niat dan maksud seseorang kecuali
Allah semata. Hadist di atas menunjukkan tentang bahaya riya’, karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam khawatir riya’ menimpa para sahabat yang merupakan
umat terbaik, apalagi terhadap selain mereka. Kekhawatiran beliau lebih besar
daripada kekhawatiran terhadap ancaman fitnah Dajjal karena hanya sedikit yang
dapat selamat dari bahaya riya’ ini. Fitnah Dajjal yang begitu berbahaya, hanya
menimpa pada orang yag hidup pada zaman tertentu, sedangkan bahaya riya’
menimpa seluruh manusia di setiap zaman dan setiap saat.[7]
Berlindung
dari Bahaya Riya’
Berhubung masalah ini sangat berbahaya seperti yang telah dijelaskan di
atas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk melindungi diri kita dari syirik besar
maupun syirik kecil. Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan
kita melalui sabdanya, ‘Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik,
karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.’ Lalu ada
orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa
syirik, sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut?’ Rasulullah
berkata, ‘Ucapkanlah Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika wa
ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun
kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui).”[8]
Catatan kaki :
[1]. I’aanatul Mustafiid bi Syarhi Kitaabi at Tauhiid II/84.
Syaikh Shalih Fauzan. Penerbit Markaz Fajr.
[2]. Al Mufiid fii Muhimmaati at Tauhid 183. Dr. ‘Abdul
Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007.
[3]. Lihat Al Mufiid 183.
[4]. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam al Musnad (V/428,
429) dan ath Thabrani dalam al Kabiir (4301) dan dishahihkan
oleh Syaikh al Albani dalam as Shahiihah (951) dan Shahiihul
Jami’ (1551).
[5]. I’aanatul Mustafiid I/90.
[6], H.R Ahmad dalam musnadnya. Dihasankan oleh Syaikh Albani Shahiihul
Jami’ (2604).
[7]. I’aanatul Mustafiid II/90.
[8]. HR. Ahmad (4/403). Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahiihul
Jami’ (3731) dan Shahih at Targhiib wa at Tarhiib (36).
Disusun oleh Abu Aufa Aal
Selasa, 28 Rojab 1438H / 25 April 2017
Semelagi Besar, Sambas
Selasa, 28 Rojab 1438H / 25 April 2017
Semelagi Besar, Sambas