Bismillaah...
Saudaraku
-yang semoga senantiasa dirahmati dan diberkahi oleh Alloh tabaroka wa ta’ala-,
ketahuilah bahwasanya salah satu kewajiban kita sebagai seorang muslim adalah
memiliki ilmu tentang agama yang kita cintai ini. Namun fakta yang terjadi saat
ini adalah sebagian kaum muslimin melupakan atau bahkan tidak mengetahui
kewajibannya yang satu ini. Sebagian dari mereka mati-matian menuntut ilmu
dunia hingga gelar S3, Doktor atau gelar-gelar tertinggi lainnya, namun untuk
urusan agama mereka nihil bahkan jahil.
Bagaimana
kita akan mengenal Alloh jika kita tidak berilmu tentang-Nya?
Bagaimana
kita bisa melakukan sholat dengan baik, yang sesuai tuntunan Nabi shallallohu
‘alaihi wasallam jika kita tidak berilmu tentangnya?
Bagaimana
kita dapat melsanakan puasa dengan benar, yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallohu
‘alaihi wasallam kalau kita tidak berilmu tentangnya?
Dan begitu
pula untuk hal lainnya didalam agama ini.
Apakah
kita hanya perlu sekadarnya didalam mempelajari agama?
Dalam
artian kita hanya perlu mengikuti apa-apa yang dahulu dilakukan oleh nenek
moyang kita? Tanpa mengoreksi atau paling tidak mengecek kebenaran ibadah dan
tata caranya apakah sesuai dengan apa-apa yang diajarkan Rasululloh shallallohu
‘alaihi wasallam ataukah tidak?
Jika
demikian adanya maka pantaslah firman Alloh ini menjadi peringatan untuk kita
bersama, menjadi tamparan yang semoga menyadarkan kita dari kesalahan selama
ini,
Alloh tabaroka
wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا
حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لاَ
يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ
“Dan jika dikatakan kepada
mereka, marilah kalian kepada apa yang Alloh turunkan kepada Rosul, niscaya
mereka berkata, cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami berada
padanya. Apakah (mereka tetap bersikap demikian) meskipun bapak-bapak mereka
tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS.
Al-Maidah: 104).
Dalam
menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Jika mereka diajak kepada agama dan
syariat Alloh, kepada hal-hal yang Allah wajibkan dan meninggalkan hal-hal yang
Alloh haramkan, mereka berkata, cukup bagi kami jalan-jalan yang ditempuh oleh
nenek moyang kami. Alloh berfirman, ‘Apakah (mereka tetap bersikap
demikian) meskipun bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak
mendapat petunjuk?’ Yakni, mereka tidak mengetahui, memahami dan
mengikuti kebenaran. Lalu kenapa mereka tetap mengikutinya padahal demikian
keadaannya?! Tidak ada yang mengikuti mereka melainkan orang yang lebih bodoh
dari mereka dan lebih sesat jalannya”.[1]
Saudaraku,
saudariku...
Rasanya...sudah
saatnya kita memulai untuk menuntut ilmu agama yang kita cintai ini. Sudah
saatnya kita melepaskan cara berfikir klasik (mengikuti nenek moyang kita)
dalam beragama secara turun temurun. Bukankah Rasululloh shallallohu ‘alaihi
wasallam pernah bersabda:
طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut ilmu (agama) itu wajib
atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh
Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no.
224).
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan
tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib
atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu” apakah yang dimaksud
dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Alloh ta’ala atau Rosul-Nya Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan
kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah
ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang terdapat dalam hadits di
atas.
Mungkin sebagian dari kita
bertanya, “apakah semua ilmu agama harus kita pelajari?”. Maka jawabannya
adalah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar rohimahulloh,
kita “hanya” wajib mempelajari sebagian dari ilmu agama, yaitu ilmu yang
berkaitan dengan ibadah dan muamalah, sehingga kita dapat beribadah kepada Alloh ta’ala dengan
benar. Kita juga wajib mempelajari ilmu tentang aqidah dan tauhid, sehingga
kita menjadi seorang muslim yang beraqidah dan mentauhidkan Alloh ta’ala dengan
benar dan selamat dari hal-hal yang merusak aqidah kita atau bahkan membatalkan
keislaman kita.
Ibnul
Qoyyim rohimahulloh telah menjelaskan ilmu apa saja yang wajib
dipelajari oleh setiap muslim. Artinya, tidak boleh ada seorang muslim pun yang
tidak mempelajarinya. Ilmu tersebut di antaranya:
Pertama, ilmu
tentang pokok-pokok keimanan, yaitu keimanan kepada Alloh tabaroka
wa ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rosul-rosul-Nya, dan
hari akhir.
Kedua, ilmu
tentang syariat-syariat Islam. Di antara yang wajib adalah ilmu tentang hal-hal
yang khusus dilakukan sebagai seorang hamba seperti ilmu tentang wudhu, shalat,
puasa, haji, zakat. Kita wajib untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
ibadah-ibadah tersebut, misalnya tentang syarat, rukun dan pembatalnya.
Ketiga, ilmu
tentang lima hal yang diharamkan yang disepakati oleh para Rosul dan syariat
sebelumnya. Kelima hal ini disebutkan dalam firman Alloh tabaroka
wa ta’ala,
ö قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ
رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ
بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ
سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah,’Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Alloh dengan sesuatu yang Alloh tidak menurunkan hujjah untuk
itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Alloh apa yang tidak kamu
ketahui’”. (QS. Al-A’raf [7]: 33).
Kelima hal
ini adalah haram atas setiap orang pada setiap keadaan. Maka wajib bagi kita
untuk mempelajari larangan-larangan Alloh tabaroka
wa ta’ala, seperti
haramnya zina, riba, minum khamr, dan sebagainya, sehingga kita
tidak melanggar larangan-larangan tersebut karena kebodohan kita.
Keempat, ilmu
yang berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara seseorang dengan orang lain
secara khusus (misalnya istri, anak, dan keluarga dekatnya) atau dengan orang
lain secara umum. Ilmu yang wajib menurut jenis yang ke empat ini berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan keadaan dan kedudukan seseorang. Misalnya, seorang
pedagang wajib mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan perdagangan atau
transaksi jual-beli. Ilmu yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi
dan kebutuhan masing-masing. [2]
Dari
penjelasan Ibnul Qoyyim rahimahullah di atas, jelaslah bahwa
apa pun latar belakang pekerjaan dan profesi kita, wajib bagi kita untuk
mempelajari ilmu-ilmu tersebut di atas.
Semoga
Alloh tabaroka wa ta’ala memudahkan kita
semua untuk menuntut ilmu agama, menunjukkan kita pemahaman beragama yang benar
dan mengokohkan hati kita diatas agama dan hidayah sunnah selamanya. Allohumma
Aamiin.
--------------------------------------------------------------------
[1] Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim (2/108, 109).
[2] Lihat Miftaah
Daaris Sa’aadah, 1/156.
Jum’at,
15 Rabi’ul
Akhir 1438H / 13 Januari 2017M.
Kota
Singkawang.
Abu Aufa